PEMERINTAHAN baru disebut bakal menghadapi situasi perekonomian yang tidak mudah alias menantang. Presiden terpilih Prabowo Subianto mesti bisa mengendalikan kemudi pemerintahan di tengah keterbatasan fiskal dan kemungkinan masih tingginya suku bunga acuan meski mulai melandai.
Kondisi itu menjadi dilematis lantaran keduanya, baik fiskal dan moneter amat memengaruhi perekonomian negara. Sempitnya ruang fiskal terlihat dari alokasi belanja yang boleh dibilang banyak digunakan untuk melaksanakan belanja rutin, pembayaran utang, dan pemenuhan janji politik.
Demikian diungkapkan Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Akhmad Akbar Susamto dalam Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk Tantangan Ekonomi Pemerintahan Baru, Rabu (9/10).
Baca juga : Dukung Program 3 Juta Rumah, Begini Lima Strategi Asosiasi Pengembang REI
“Belanja (APBN) yang Rp3.600 triliun tidak bisa digunakan bebas, ada belanja pegawai yang sudah pasti, 20% pendidikan, keamanan, dan seterusnya hingga sisanya menjadi kecil. Akan menjadi lebih kecil karena ada janji politik, seperti IKN, Makan Bergizi Gratis, itu kemudian akan semakin mengurangi ruang fiskal pemerintah. Sehingga ruang itu menjadi lebih kecil,” kata dia.
Sementara dari sisi pembayaran utang, tahun depan Indonesia harus membayar utang jatuh tempo yang diperkirakan mencapai Rp800 triliun. Belum lagi ada kewajiban membayar bunga utang di 2025 sekitar Rp500 triliun.
Nilai tersebut, kata Akbar, berkisar 17-18% dari total alokasi belanja negara di tahun depan. Jumlah tersebut dinilai cukup besar dan membuat ruang fiskal APBN tahun depan kian menyusut. Ruang fiskal yang sempit otomatis membuat presiden terpilih tak begitu leluasa menggunakan anggaran.
Baca juga : Empat Hal Krusial yang Menanti Presiden Terpilih Prabowo Subianto
Tak hanya dari sisi fiskal, pemerintahan baru juga akan dihadapi dengan aspek moneter yang boleh dibilang menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Itu karena kebijakan suku bunga acuan diperkirakan masih berada dalam level yang tinggi meski telah dilakukan pemangkasan.
“Kemampuan moneter untuk mendukung perekonomian juga masih rendah. Jadi ruang fiskal terbatas, dari sisi moneter tidak banyak harapan, setidaknya sampai akhir tahun ini,” terang Akbar.
“Karena dia (moneter) ada masalah, kebijakan mereka tidak bisa hanya berdasar pada inflasi, tapi banyak dipengaruhi eksternal,” lanjutnya.
Baca juga : Pengamat: Sektor Properti di Era Pemerintahan Baru Diprediksi Membaik
Gayung bersambut, Anggota DPR terpilih partai NasDem Fauzi H. Amro mengatakan, karena presiden terpilih mengusung kelanjutan dari kebijakan Presiden Joko Widodo, maka risiko-risiko yang muncul, utamanya dari sisi fiskal mesti bisa ditangani oleh Prabowo.
Salah satu yang ia soroti adalah perihal defisit anggaran. Dari catatannya, pembiayaan defisit di 2025 diperkirakan mencapai Rp775,8 triliun. Pembiayaan tersebut berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Rp642,5 triliun dan pinjaman Rp133,3 triliun.
“PR utama lainnya adalah utang yang sudah jatuh tempo, lalu IKN yang sudah menggunakan uang APBN sekitar Rp70 triliun, lalu makan bergizi gratis, dan masalah pendidikan dan kesehatan,” tutur Fauzi. (Z-9)