THE Fed yang merupakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) diramalkan akan memangkas suku bunga atau fed funds rate/FFR dalam waktu dekat. Menyikapi hal itu, Ekonom makroekonomi dan pasar keuangan Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai Bank Indonesia (BI) masih perlu mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) 6,25% bulan ini. Alasannya perbedaan tingkat suku bunga masih cenderung atraktif menarik modal masuk dan menjaga stabilitas rupiah.
“Kami berpandangan bahwa BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,25% pada Rapat Dewan Gubernur September ini,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (18/9).
Baca juga : Deflasi dan Turunnya Fed Fund Rate Jadi Faktor Pendorong BI Turunkan Suku Bunga
Rilis data inflasi AS yang terkini membuat the Fed memangkas suku bunga acuannya secara bertahap mulai minggu ini. Tingkat inflasi AS pada Agustus melambat cukup signifikan dari 2,9% year on year (yoy) Juli 2024 ke 2,5%. Itu lebih rendah dari estimasi para ekonom yang dihimpun oleh Reuters sebesar 2,6% (yoy). Lebih lanjut, angka inflasi AS menyentuh titik terendahnya dalam tiga tahun terakhir akibat tren disinflasi yang terjadi secara persisten dalam lima bulan terakhir.
Dengan hampir pastinya pemotongan suku bunga acuan oleh the Fed, Riefky menyebut Indonesia dan negara berkembang lainnya terdampak positif dengan adanya arus modal masuk dan penguatan mata uang. Sementara itu, tingkat harga domestik di Indonesia sedang mengalami tren disinflasi. Kombinasi dari berlanjutnya penguatan rupiah dan perlambatan inflasi, ujar dia, membuka ruang gerak BI untuk memotong suku bunga acuan dalam rangka meningkatkan permintaan agregat dan pertumbuhan sektor riil.
Tetapi, lanjut Riefky, sejauh ini tingkat inflasi masih dalam koridor target BI dan masih adanya potensi berbaliknya arus modal asing keluar dari Indonesia. Mempertimbangkan hal-hal tersebut, pemotongan suku bunga oleh BI belum terlalu mendesak untuk dilakukan di bulan ini.
Baca juga : Bank Indonesia Didesak segera Pangkas Suku Bunga Acuan
“Menunda pemotongan suku bunga acuan juga berpotensi menguntungkan posisi BI dengan lebih lebarnya ruang gerak BI dalam melakukan pelonggaran moneter di sisa tahun ini apabila dibutuhkan,” tambah Riefky.
Selain itu, dengan semakin besarnya kemungkinan the Fed memangkas suku bunganya dalam waktu dekat, menyebabkan berlanjutnya arus modal masuk ke berbagai negara berkembang. Tren derasnya aliran modal dari negara maju ke negara berkembang sejak awal Agustus lalu terus berlanjut. Dari 15 Agustus hingga 11 September, Indonesia mengalami peningkatan arus modal masuk sekitar US$3,37 miliar.
Melimpahnya arus modal asing menuju pasar keuangan domestik mendorong penguatan sebagian besar mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Selama periode tersebut, rupiah menguat sebesar 2,75% dan saat ini berada di Rp15.395 per dolar AS.
Selain itu, arus modal asing ke instrumen surat utang Indonesia mendorong naiknya imbal hasil surat utang pemerintah. Riefky mencatat imbal hasil surat utang pemerintah tenor 10-tahun saat ini bertengger di 6,65%, turun lebih dari sepuluh basis poin dari 6,78% di 15 Agustus lalu. (Ins)