IndonesiaDiscover –
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) kembali melakukan reshuffle kabinet dan lembaga di penghujung masa jabatannya, termasuk mengganti Menteri Sosial Tri Rismaharini dengan Saifullah Yusuf dan melantik Irjen Eddy Hartono jadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), hingga direncanakan akan mengganti Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan keputusan mengganti jabatan menjelang siswa waktu masa jabatan yang hanya sekitar 1,5 bulan akan menimbulkan ketidakefektifan kinerja organisasi dalam menjalankan kinerja layanan publik.
“Ini akan sangat berdampak secara signifikan terhadap efektivitas kinerja organisasi, bahwa ini juga berpengaruh kepada optimalisasi program-program yang sudah ditetapkan sebelumnya. Jadi banyak program yang harusnya bisa selesai justru akan melambat sehingga pelayanan publik jadi kurang optimal,” katanya kepada Media Indonesia di Jakarta pada Rabu (11/9).
Baca juga : Tak Diajak Presiden Jokowi, Bahlil Sarankan Risma Gelar Bagi-Bagi Bansos Sendiri
Menurut Trubus, tidak ada urgensi serta manfaat dari reshuffle ini, melainkan hanya memperlihatkan kepentingan politis dan memboroskan anggaran negara. Dikatakan bahwa pergantian pimpinan bisa saja digantikan oleh orang yang ada di internal organisasi tersebut sehingga meminimalisir adanya impotensi keberjalanan program dan kebijakan.
“Jelas ini memboroskan anggaran hanya mengakomodir kepentingan politik dengan menempatkan orang-orang Jokowi serta ingin menunjukkan adanya keberlanjutan dari pemerintahannya. Kepentingan politik tidak ada kaitannya dengan kinerja pelayanan publik yang sudah direncanakan oleh suatu organisasi,” katanya.
Trubus menegaskan bahwa pergantian pimpinan suatu organisasi negara dalam sisa jangka waktu yang sangat sempit mendekati masa demisioner seperti ini sangat tidak beretika.
Baca juga : Januari 2021, Cair Bansos Rp300 Ribu
“Sebaiknya dan normalnya adalah pengganti pimpinan lembaga itu minimal 3-6 bulan sebelum masa pemerintahan berakhir, kalau sudah mendekati masa akhir jabatan pemerintahan seperti ini tidak ada urgensinya, secara realisasi program juga mungkin lembaga dan kementerian sudah hampir selesai,” katanya.
Menanggapi adanya wacana pergantian Kepala BMKG, Trubus menjelaskan hal itu bisa saja mengganggu proses pelayanan publik mengenai iklim dan kebencanaan, sebab pola kinerja organisasi di Indonesia menganut sistem Weberian yang sangat bergantung pada pimpinan, jika pimpinan tak cepat memahami maka akan berdampak pada kinerja birokrasi.
“BMKG ini posisinya strategis dan teknis, pelayanan terkait informasi publik harus baik dan jelas sehingga kalau ada orang baru lagi lalu harus menyesuaikan dan menjelaskan lagi, pasti akan mengganggu layanan publiknya,” tandasnya. (DEV)