TANGAL 19 Agustus merupakan hari bersejarah bagi warga peradilan. Di mana pada hari itu lahir Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tertinggi dalam lingkungan peradilan. Dari 19 Agustus 1945 hingga saat ini peran MA berkaitan dengan politik yang ada di Indonesia, seperti pengawasan partai politik dan politisasi yudisial.
MA merupakan lembaga yudikatif tertinggi yang memiliki peran krusial dalam menjaga supremasi hukum dan keadilan di negeri ini. Dalam konteks politik, MA sering kali menjadi sorotan karena keputusannya yang berpengaruh terhadap dinamika politik nasional.
Namun, sejauh mana keterlibatan MA dalam politik Indonesia? Apakah lembaga ini benar-benar dapat menjaga independensinya, ataukah turut terlibat dalam pusaran kekuasaan politik?
Baca juga : Donald Trump Rayakan Keputusan Imunitas Presiden
Sebagai pilar utama kekuasaan yudikatif, MA memiliki fungsi dan tanggung jawab yang jelas diatur dalam UUD 1945 dan berbagai undang-undang lainnya. Tugas utama MA adalah menegakkan hukum dan keadilan melalui putusan-putusan yang adil, transparan, dan berdasarkan hukum yang berlaku.
Di Indonesia, MA juga memiliki kewenangan untuk meninjau kembali putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (kasasi) dan memeriksa sengketa hasil pemilu melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu prinsip MA adalah independensi. Independensi berarti MA harus bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk kekuasaan eksekutif dan legislatif. Namun, dalam praktiknya, menjaga independensi ini tidaklah mudah, terutama dalam iklim politik yang dinamis dan kadang kala penuh tekanan.
Baca juga : Mahkamah Agung Beri Imunitas Sebagian kepada Donald Trump dalam Kasus Pemalsuan Pemilu
Interaksi MA dengan Politik
Meski MA seharusnya netral dan independen, dalam beberapa kasus, interaksi antara MA dan politik menjadi tak terelakkan. Salah satu bentuk interaksi ini adalah melalui putusan-putusan yang berkaitan dengan hasil pemilu, baik pemilihan umum legislatif maupun pemilihan presiden. Dalam hal ini, MA, melalui Mahkamah Konstitusi, memainkan peran penting dalam menyelesaikan sengketa pemilu yang dapat mempengaruhi peta politik nasional.
Selain itu, MA juga terlibat dalam pengujian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Keputusan MA dalam mengesahkan atau membatalkan undang-undang tertentu dapat memengaruhi kebijakan politik pemerintah dan arah pembangunan nasional. Misalnya, dalam pengujian undang-undang yang kontroversial, MA harus mempertimbangkan berbagai aspek hukum dan kepentingan publik, yang pada akhirnya dapat membawa implikasi politik.
Di tahun pemillu saat ini putusan MA menjadi buah bibir yang mendapatkan reaksi pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat, terkait Keputusan MA mengenai persyaratan usia calon kepala daerah dikritik sebagai langkah yang dipengaruhi kepentingan politik, dengan tujuan mempermudah jalan bagi Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, untuk mengikuti Pilkada DKI Jakarta.
Baca juga : Jelang Pilkada, Rakyat Diminta Sadar dari Hipnotis Politik Populisme ‘ala Jokowi’
Isi Putusan Kontroversi MA
MA mengabulkan permohonan hak uji materi (HUM) yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana, terkait Pasal 4 ayat 1 huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 mengenai Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Di mana isi dari pasal tersebut ialah: “berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak penetapan pasangan calon.“
Namun setelah putusan MA no 23P/HUM/2024 maka ada perubahan pada isi pasal, menjadi: Setelah putusan MA No 23P/HUM/2024 maka isinya menjadi: “berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih”.
Baca juga : Maju Tidaknya Kaesang, Putusan MA Tetap Dinilai Politis
Dalam pertimbangan perubahan pasal tersebut MA menimbang bahwa pasal gtersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Putusan yang di tetapkan secara singkat itupun membuat banyak komentar dari berbagai kalangan. Apakah hal sebelumnya mengenai putusan yang meringangkan sang kakak Gibran Rakabuming untuk maju menjadi calon wakil presiden akan terulang kepada Kaesang?
Pandangan para pakar mengenai putusan MA
Feri Amsari seorang Pakar Hukum Tata Negara menyampaikan di dalam pemilu itu ada pembatasan-pembatasan yang disepakati bersama oleh peserta pemilu. Dalam pemilu ada aturan di mana ada pelarangan mengubah aturan pemilu saat pemilu sudah dekat, karena kalau sudah dekat pasti ada kepentingan di dalamnya.
“Kepada siapa Mahkamah Agung berpedoman kepada Undang-Undang apa kepada partai politik? Saya mencurigai bahwa putusan-putusan semacam ini selalu berujung pada kepentingan politi di bandingkan dengan kepentingan ingin melindungi pemilu,” ujar Feri dalam wawancara di Metro TV beberapa waktu lalu.
Sosiolog Okky Madasari memberikan pandangannya dalam keputusan MA kali ini ia menjelaskan bahwa tidak ada perubahan usia di keputusan itu, usia nya tetap 30 tahun tetapi yang diubah adalah dari pencalonan dan pelantikan.
“Jika nanti kita bisa melihat atau semakin banyak bukti-bukti yang memperkuat bahwa aturan putusan MA ini dibuat untuk meloloskan kepentingan kaesang maka jelas kita tahu bahwa ini adalah lagi-lagu bentuk abuse of power” jelasnya.
MA sebagai lembaga yudikatif tertinggi, memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan penegakan hukum di Indonesia. Meskipun berada di posisi yang strategis, MA harus terus berupaya menjaga independensinya dari pengaruh politik.
Dengan komitmen terhadap prinsip-prinsip hukum dan keadilan, serta dukungan dari masyarakat dan lembaga lainnya, MA dapat terus menjadi benteng keadilan yang kokoh dan terpercaya dalam sistem demokrasi Indonesia. (NA)