Uncategorized Potensi Kecurangan Dalam Metode E-Purchasing Pada Proses Pengadaan Barang/Jasa di...

Potensi Kecurangan Dalam Metode E-Purchasing Pada Proses Pengadaan Barang/Jasa di Indonesia

38
0

Korupsi pengadaan merupakan masalah yang dihadapi secara global.Berdasarkan laporan United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC) korupsi pengadaan berdampak pada hilangnya uang negara sekitar 10-25 persen. Sementara itu pada 2014, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis laporan berjudul “The OECD Foreign Bribery Report” yang menyatakan bahwa 57 persen kasus suap-menyuap terjadi
kepada pejabat publik asing untuk mendapatkan kontrak pengadaan publik.

Kompleksnya proses pengadaan menjadi celah bagi para pelaku untuk dapat
mengambil keuntungan, terutama ketika pelaksanaannya dilakukan secara
manual atau tatap muka.Kondisi tersebut mendorong adanya wacana untuk mengalihkan proses yang sebelumnya manual menjadi elektronik agar interaksi
para pihak dapat dibatasi dan mencegah terjadinya korupsi.

Pengejawantahan dari gagasan tersebut adalah terbitnya Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Aturan
ini merupakan tonggak dari pelaksanaan pengadaan secara elektronik yang
saat ini sudah diterapkan di Indonesia. Salah satu bentuk implementasi dari
aturan ini, pada 2015 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
meluncurkan metode e-purchasing dimana badan publik dapat membeli secara
langsung melalui katalog elektronik.

Menurut Salusra Widya, Sekretaris Utama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), sistem pembayaran secara langsung atau e-purchasing merupakan salah satu usaha pemerintah dalam pencegahan penyimpangan dan korupsi dalam pengadaan barang / jasa. Selain itu,metode ini juga dianggap dapat mempercepat proses pengadaan tanpa mengesampingkan akuntabilitas.

Di sisi lain Kementerian /Lembaga /Pemerintah Daerah juga diwajibkan menggunakan e-purchasing untuk barang/jasa yang menyangkut pemenuhan kebutuhan nasional dan/atau strategis yang ditetapkan oleh Menteri, Kepala Lembaga, atau Kepala Daerah.

Kemudian,untuk memperkuat penggunaan e purchasing,pada 2022 Pemerintah melalui LKPP menargetkan untuk meningkatkan jumlah produk dalam e-katalog menjadi 1.000.000 (satu juta) terutama produk dalam negeri.Hal ini dilakukan agar semakin banyak komoditas yang tersedia sehingga memudahkan badan publik untuk membeli barang/jasa.

Berdasarkan data profil pengadaan yang dikeluarkan LKPP, dalam 3 tahun
terakhir jumlah pengadaan barang/jasa yang menggunakan e-purchasing ratarata 10% dari total pengadaan pemerintah. Pada 2019 ada 347.557 paket dengan
nilai transaksi Rp 69,2 Triliun, lalu 2020 ada 295.532 paket dengan nilai Rp 49,5 Triliun, kemudian di 2021 ada 228.207 paket dengan nilai transaksi sebesar Rp 49,7 Triliun.

Dengan semakin masifnya penggunaan e-purchasing dan belum adanya kajian yang secara khusus memetakan kecurangan e-purchasing, maka penelitian ini menjadi relevan bagi pemerintah untuk membangun sistem atau kebijakan yang bisa mendeteksi kecurangan dalam e-purchasing

Dalam proses pelaksanaan pengadaan secara e-purchasing ICW mengidentifikasi
terdapat delapan potensi kecurangan yang muncul.

Pertama, adanya persekongkolan antara penyedia di katalog elektronik dengan PP/PPK untuk pengaturan harga. Persekongkolan yang dimaksud adalah adanya komunikasi yang dilakukan oleh PP/PPK – selaku pihak yang membuat paket di dalam sistem katalog elektronik – dengan penyedia. Pengaturan harga yang timbul karena adanya intensi untuk memperkaya diri sendiri atau pihak penyedia.

Kedua, PP/PPK saat memproses paket dengan fitur negosiasi, mereka tidak
melakukan negosiasi. Hal ini akan meningkatnya anggaran belanja sehingga
berpotensi menimbulkan pemborosan terhadap keuangan negara. Dalam
sistem katalog elektronik harga yang ditawarkan oleh penyedia merupakan
harga termahal.Apabila PP/PPK memproses paket dengan menggunakan fitur
negosiasi, maka harga barang yang dibeli dapat ditekan hingga 30 persen. Selain
itu, hingga saat ini sistem e-katalog hanya mengakomodir metode negosiasi
harga, sehingga negosiasi harga menjadi proses yang wajib dilakukan.

Ketiga, adanya potensi persekongkolan yang dilakukan oleh PP/PPK kepada
penyedia saat proses transaksi dengan modus “biaya klik”. Saat proses pemilihan barang, PP/PPK berwenang untuk memilih barang berdasarkan kebutuhan. Agar barang dapat dibeli, maka PP/PPK meminta “biaya klik” kepada penyedia
atau penyedia memberikan suap kepada PP/PPK sebagai imbalan karena
sudah membeli barang tersebut.

Hal ini tentu dengan prasyarat bahwa adanya komunikasi yang dibangun antara PP/PPK dan penyedia. Modus tersebut terjadi saat kasus dugaan korupsi pengadaan komputer UNBK tahun 2018 di Dinas Pendidikan Provinsi Banten. Dalam kasus tersebut diketahui bahwa penyedia diduga memberikan suap sebesar Rp60 juta kepada PPK agar dapat memilih barang yang dijual oleh penyedia.

Keempat, adanya potensi PPK tidak melakukan pemeriksaan terhadap barang
yang dikirimkan oleh distributor. Akibatnya, barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan oleh distributor di dalam sistem katalog
elektronik.

Kelima, adanya ongkos kirim fiktif yang diatur antara penyedia dan PP/PPK.
Ongkos kirim yang diterima oleh penyedia akan diberikan kepada PP/PPK saat
mengambil barang ke lokasi penyedia.

Keenam, persekongkolan dalam pengaturan ongkos kirim. Selisih nilai ongkos
kirim diberikan kepada PP/PPK oleh penyedia. Caranya, pada saat melakukan
proses pembelian, PP/PPK berkomunikasi dengan pihak penyedia untuk mengirimkan barang ke lokasi yang bukan merupakan lokasi dibutuhkannya barang. Misal, PP/PPK Kabupaten X membeli barang kepada penyedia melalui katalog elektronik. PP/PPK meminta penyedia untuk mengatur pengiriman barang ke Kota Y. Lokasi penyedia lebih dekat ke Kabupaten X dibanding Kota Y. Kesepakatan yang dibuat adalah bahwa selisih ongkos kirim akan diberikan kepada PP/PPK oleh penyedia.

Ketujuh, K/L/PD mendorong penyedia untuk memasukan barang ke katalog elektronik agar dapat dibeli oleh masing-masing institusi. Namun pembelian barang tersebut hanya terjadi satu kali, kemudian barang tersebut tidak pernah
dibeli oleh institusi manapun.

Kedelapan, PP/PPK memilih barang bukan harga yang termurah. Dalam sistem
katalog elektronik apabila ada suatu barang dengan jenis yang sama dan
memiliki pilihan lebih dari satu, maka PP/PPK harus memilih barang dengan
harga yang termurah sesuai dengan kebutuhan.(Sumber ICW)

Tinggalkan Balasan