IndonesiaDiscover –
AKSI bunuh diri yang dilakukan dokter Aulia Risma Lestari, mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anastesi di Universitas Diponegoro menjadi perhatian publik. Dugaan bullying pun mencuat sebagai penyebab aksi nahas tersebuut.
Merespons itu, Psikolog dari Universitas Indonesia Dicky Paluppesy mengungkapkan, jika melihat data yang bersifat anekdotal, atau bukan diperoleh lewat pengumpulan data secara terstruktur atau mengikuti metode ilmiah, kasus bunuh diri mahasiswa PPDS Undip bukanlah fenomena yang kasuistik.
“Anteseden atau penyebabnya bukan sesuatu yang unik yang hanya terjadi saat itu di PPDS Undip. Ini bisa dicek dari informasi-informasi yang disampaikan di media sosial oleh yang mengaku melihat, mengalami atau terkena dampaknya,” kata Dicky saat dihubungi, Kamis (22/8).
Baca juga : Kemenkes Masih Investigasi Pemicu Kematian Mahasiswi PPDS Undip
Ia menjelaskan, prinsip dasar dalam memahami perilaku termasuk tindakan bunuh diri adalah perilaku dihasilkan dari interaksi faktor individu dan faktor lingkungan. Jadi, lanjut Dicky, kita bisa mengira-ngira lingkunga, baik lingkungan sosial, lingkungan belajar hingga lingkungan seperti apa yang dialami dalam kasus PPDS Undip dan PPDS lain yang secara indikatif diceritakan di media dan media sosial.
“Secara sederhana, berarti lingkungan itu menekan. Tekanan itu akumulatif, memberatkan, dan tampaknya tanpa ada atau sulit diintervensi untuk dihentikan. Malah mungkin dirawat dengan anggapan sebagai tradisi lingkungan yang memberikan identitas tertentu,” ungkapnya.
Untuk mencegah kasus serupa di kemudian hari, Dicky menilai perlu adanya intervensi terhadap lingkungan. Menurutnya, berbagai pihak harus menciptakan lingkungan yang zero tolerance terhadap pemberian tekanan tanpa alasan yang jelas. Dalam hal pendidikan, tekanan itu bisa berupa bagian dari tugas instruksional dan semua bentuk perundungan, baik fisik, emosional termasuk gosip.
“Angkat juga contoh-contoh baik yaitu ketika ada lingkungan belajar yang tegas mencegah atau melawan perundungan. Dengan ada contoh lingkungan belajar suportif yang tidak menolerir perundungan, maka yang lain bisa belajar bahwa lingkungan zero tolerance terhadap perundungan, lingkungan kondusif untuk belajar, bisa diciptakan,” pungkas dia.