Politik Kisah 27 Juli 1966 saat Hukum Jadi Alat Menindas Lawan Politik

Kisah 27 Juli 1966 saat Hukum Jadi Alat Menindas Lawan Politik

14
0
Kisah 27 Juli 1966 saat Hukum Jadi Alat Menindas Lawan Politik
Masyarkat mensuarakan aspirasi terkait hukum dan keadilan(MI / Susanto)

PERISTIWA 27 Juli 1996 di Jakarta bukan sekadar kenangan pahit dalam sejarah politik Indonesia. Melainkan simbol dari luka mendalam yang masih dirasakan oleh banyak orang, terutama mereka yang menjadi korban atau keluarga korban dari kekerasan yang terjadi.

Pada hari itu, pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto melakukan serangan terhadap kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang diduduki pendukung Megawati Soekarnoputri, pemimpin partai yang baru saja digulingkan.

Budayawan Antonius Benny Susetyo Menuturkan serangan ini bukan hanya merupakan tindakan brutal terhadap warga sipil yang tidak bersenjata, tetapi juga mencerminkan betapa kekuasaan saat itu telah menjadikan hukum sebagai alat untuk menindas lawan politik.

Baca juga : Singgung Abuse of Power, Hasto Nilai Jokowi Mirip Soeharto

Tidak berhenti di situ, dilanjutkannya, peristiwa ini memicu kerusuhan yang meluas di beberapa wilayah di Jakarta, terutama di Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat.

Kendaraan dan gedung terbakar, dan kekacauan merajalela selama dua hari. Peristiwa 27 Juli 1996 harus menjadi pengingat betapa kita sering kali lupa akan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi. 

“Pembiaran terhadap peristiwa itu menunjukkan betapa hukum saat itu telah mengalami imunitas terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia bukan hanya melukai sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi juga menghancurkan martabat manusia,” kata Antonius dikutip di Jakarta, Sabtu (27/7). 

Baca juga : Pakar: Jaksa Masuk Kampus Diharap Tekan Kriminalitas Anak Muda 

Ketika otoritas politik dan kekuasaan mereduksi harkat dan martabat manusia, maka manusia kehilangan nilai dirinya. Pancasila seharusnya menjadi dasar dalam cara berpikir dan bertindak, terutama dalam hal menghormati hak asasi manusia. 

“Jika Pancasila dikembalikan kepada etika hidup berbangsa dan bernegara, maka pelanggaran terhadap martabat manusia harus selalu diingat dan dituntaskan,” tambahnya.

Kejahatan kemanusiaan, dilanjutkannya, tidak boleh dibiarkan terus terjadi dengan membiarkan hukum mengalami imunitas. Hukum harus berpihak kepada kemanusiaan dan keadilan, bukan kepada kepentingan kekuasaan semata.

Baca juga : Advokat Triweka Rinanti Termotivasi Bela Masyarakat Kecil yang Hadapi Hukum

Masih dikatakannya, seorang filsuf besar, Walter Benjamin pernah mengatakan bahwa ketika persoalan menyangkut kemanusiaan, seorang pemimpin harus bisa mengambil tindakan yang luar biasa. Pemimpin harus mengatasi kepentingan politik sesaat dan berani mengambil tindakan yang tidak populer demi memperjuangkan kemanusiaan.

Namun, kenyataannya sering kali politik justru menginjak-injak kemanusiaan karena tidak lagi berdasarkan suara hati nurani. 

“Ketika politik tanpa hati nurani, maka politik itu menjadi buas dan merusak martabat kemanusiaan. Peristiwa 27 Juli harus menjadi momentum bagi bangsa ini untuk mengembalikan keadaban Pancasila,” ujarnya

Baca juga : Tafsir Ayat Berlaku Adillah karena Adil Lebih Dekat dengan Takwa

Dalam paparannya, hukum harus melayani kemanusiaan dan keadilan, bukan kepentingan kekuasaan. Kekuasaan yang melayani kemanusiaan akan bertindak secara etis dan patuh pada nilai-nilai dasar, etika, dan moral. Kekuasaan yang patuh pada nilai-nilai ini akan mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

“Banalitas kejahatan, di mana kejahatan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan biasa, harus dihapuskan. Demokrasi yang berdasarkan Pancasila harus mengutamakan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan,” katanya.

“Demokrasi tidak boleh menggunakan kekerasan struktural atau manipulasi birokrasi dan militer untuk mempertahankan kekuasaan otoriter. Kekuasaan seharusnya melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, bukan sebaliknya,” tuturnya.

Kemudian dilanjutkannya, peristiwa 27 Juli 1996 harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa tentang impunitas hukum.
“Kita harus selalu ingat dan tidak pernah melupakan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi. Hanya dengan demikian kita dapat membangun masa depan yang lebih baik, di mana hak asasi manusia dihormati dan dijunjung tinggi, serta keadilan dan kemanusiaan menjadi dasar dalam setiap tindakan dan kebijakan,” jelasnya.

Peristiwa 27 Juli 1996 tidak hanya mengungkapkan kekejaman pemerintah Orde Baru dalam menghadapi oposisi, tetapi juga menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia pada masa itu. Banyak korban dari peristiwa tersebut hingga kini masih menuntut keadilan dan pengakuan atas penderitaan yang mereka alami.

“Menolak lupa terhadap peristiwa 27 Juli 1996 adalah penting karena banyak korban dari peristiwa ini masih hidup dengan trauma dan kehilangan. Menolak lupa berarti memperjuangkan keadilan bagi mereka dan memastikan bahwa pelaku kekerasan dihukum, selain itu mengingat peristiwa ini membantu generasi muda memahami sejarah kelam bangsanya, sehingga mereka bisa belajar dari masa lalu dan berusaha untuk tidak mengulanginya di masa depan,” urainya. (Z-8)

Tinggalkan Balasan