Nasional Antara NU dan Muhammadiyah, Beda Pertimbangan Ormas dalam Menyikapi Izin Tambang

Antara NU dan Muhammadiyah, Beda Pertimbangan Ormas dalam Menyikapi Izin Tambang

2
0

IndonesiaDiscover –

Antara NU dan Muhammadiyah, Beda Pertimbangan Ormas dalam Menyikapi Izin Tambang
Infografis(MI/Litbang)

BEBERAPA waktu lalu, Presiden Joko Widodo resmi menerbitkan izin bagi organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk dapat mengelola tambang mineral dan batu bara, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Hal ini menjadi perdebatan publik dan beberapa ormas keagamaan mulai disoroti terkait sikap apa yang akan mereka ambil. Salah satu yang menjadi sorotan adalah PBNU yang menyetujui terkait dengan hal ini.

Ketua PBNU Ulil Abshar-Abdalla mengatakan bahwa terdapat beberapa hal yang mendasari keputusan dari PBNU tersebut, salah satunya adalah perbedaan pemikiran mengenai secara ideologis dan fiqih.

Baca juga : PBNU Tegaskan Tak Mengandalkan Pihak Ke-3 dalam Pengelolaan Tambang

“Debat soal tambang tidak bisa dipisahkan dari climate change. Menurut hemat saya hal ini bukan beroperasi pada kebijakan saja tapi ada filosofis dan ideologis. Serta ada kepentingan negara barat yang ingin mempertahankan dominasi,” ungkapnya dalam webinar Maarif Institute bertajuk Agama, Krisis Lingkungan dan HAM: Izin Tambang untuk Ormas, Maslahah atau Masalah, Kamis (19/7).

Selain itu, menurutnya aktivisme lingkungan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari gerakan di tingkat global, dan di balik kritis tambang, ada ideologi lingkunganisme yang tidak seluruhnya dapat diafismasi serta disetujui oleh fiqih atau islam.

“Tentu saja ini Islam yang saya pahami,” kata Ulil.

Baca juga : PBNU Tergiur Kelola Tambang, Ketum Sebut untuk Kesejahteraan Anggota

Menurutnya, isu lingkungan global sudah menjadi debat ideologi. Karena itu debat soal climate change terutama di Amerika Serikat dikatakan sudah mirip debat keagamaan. Ini menimbulkan polarisasi yang kuat antara Demokrat dan Republik.

“Saya mengendus sebagian kritik atas kebijakan pemerintah terutama soal tambang, terlebih dengan dikeluarkannya PP 25/2024 yang memberikan konsesi tambang pada ormas keagamaan didorong oleh ideologi lingkungan. Jadi ada semangat keagamaan dalam kritik ini,” tuturnya.

Ulil berpandangan bahwa isu lingkungan harus diturunkan levelnya dari ideologis ke fiqih. Tujuannya agar menjadi pendekatan teknis biasa dalam hal lingkungan.

Baca juga :  PBNU Banjir Hujatan Terima Izin Kelola Tambang

“Dengan menggunakan penggunaan fiqih, debat dibatasi oleh maslahat. Bukan persoalan ideologi. Maka dari itu, dengan mendegradasi hal tersebut, debat soal isu ini disebut khilafiyah yaitu perbedaan dalam pandangan dan bukan masalah akidah. Jadi cenderung perdebatan dalam hal kebijakan,” ucap Ulil.

Ulil melihat perdebatan soal climate change sudah melewati batas sampai ke batas ideologi.

Dia menekankan bahwa posisi dirinya saat ini cenderung mempertanyakan gerakan hijau pada umumnya. Karena itu dikatakan memiliki ideologi tertentu yang belum pernah dibicarakan secara kritis.

Baca juga : Bahlil: PBNU akan Kelola Tambang Batu Bara Eks Bakrie Grup

PP Muhammadiyah

Di lain pihak, Ketua LKKS PP Muhammadiyah, Fajar Riza ul Haq menyatakan bahwa sikap PP Muhammadiyah terhadap PP 25/2024 adalah masih mendalami terkait hal ini. Menurutnya banyak pertimbangan dan pengambilan keputusan di PP Muhammadiyah yang sedang dilalui.

“Itu juga terkait DNA Muhammadiyah dengan ideologis kesejahteraan. Ini jadi concern Muhammadiyah sejak pertama berdiri. Kita bisa menyimpulkan DNA Muhammadiyah berorientasi pada kesejahteraan sosial. Kita sudah terbiasa punya amal usaha yang pikiran orang bisnis seperti RS dan sekolah. Tapi kami memaknai hal ini tidak hanya berorientasi pada profit karena nilai tambahnya dikembalikan pada masyarakat,” ujar Fajar.

Dia juga menjelaskan bahwa di internal PP Muhammadiyah sampai saat ini masih ada dinamika mengenai sikap terhadap PP 25/2024. Untuk itu banyak sekali kajian tentang kebijakan tersebut dari internal PP Muhammadiyah.

“Hal ini masih menjadi pertimbangan bagi kami. Hal yang ingin kami tekankan adalah pilihan dari Muhammadiyah untuk kesejahteraan masyarakat. PBNU kan sistemnya presidensialisme. Kalau di Muhammadiyah itu parlementer. Jadi ketua umum tidak punya kewenangan mutlak untuk memutuskan suatu hal. Perdebatan yang berkembang akan menjadi masukan bagi PP Muhammadiyah untuk mengambil kebijakan,” tegasnya.

Indonesia Masuki Rezim Ekstraktif

Di lain pihak, Badan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Siti Maimunah menegaskan bahwa pengesahan PP 25/2024 menunjukkan bahwa saat ini Indonesia sedang memasuki rezim ekstraktif yang seolah-olah demi kerakyatan padahal hanya untuk keuntungan ekonomi semata tanpa memikirkan lingkungan.

“Dari 6.603 tambang, jumlah instruktur pertambangannya hanya 600 orang. Bagaimana mengawasi ini. Ada 1.144 izin tambang tapi inspekturnya 30. Tambang ilegal itu setidaknya ada 178 titik. Pada 2019 ada sampai 50-70 juta ton batu bara dari tambang ilegal. Ada 1.735 lubang tambang yang ditelantarkan,” urai Siti.

“Produksi tambang juga terus naik. Bisa berkali kali lipat sejak 2001. Hanya sebagian kecil yang digunakan untuk listrik negara. Selebihnya untuk ekspor dan yang jadi ukuran. Sudah lama kami bilang harus dibatasi. Tapi nyatanya eksploitasi terus naik,” pungkasnya. (Des/Z-7)

Tinggalkan Balasan